Sabtu, 29 Oktober 2011

SEMINAR SEHARI DIMENSI SOSIAL PADA PENELITIAN PERTANIAN

         Dr. Joanna Miller, Peneliti dan Staf Pengajar dari Charles Sturt University Australia, mengatakan, agar hasil kegiatan penelitian mempunyai dampak yang berguna, dimensi sosial harus dilakukan. Hal itu terungkap dalam Seminar se-hari Dimensi Sosial Dalam Penelitian Pertanian (Social Dimension Of Agricultural Research). Bertempat di Auditorium BPTP Sumatera Barat, Jln Raya Padang Solok KM 40 Sukarami, pada tanggal 24 juni 2011. Seminar ini dilakukan atas kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat, dan Charles Sturt University, Seminar ini diikuti oleh 100 orang Peneliti, Penyuluh dan Staf Teknis dari BPTP Sumbar, Balitbu Tropika dan Balitro Laing Solok, serta simpatisan lainnya. Nara sumber dalam seminar itu adalah Dr. Joanna Miller, dosen dan peneliti soaial dari Charles Sturt Univesity Australia.

          Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan professional para peneliti/penyuluh pertanian, dan penentu kebijakan mengenai dimensi sosial masyarakat.

           Kepala BPTP Sumbar Dr. Prama Yufdy, sewaktu membuka seminar itu mengucapkan terimakasih kepada Dr. Joanna Millar dari Sturt University sebagai narasumber, Crawford Fund penyandang dana dan Ir. Firdos Nurdin (Ketua Green Indonesia Community). Selama ini kita kurang memperhatikan dimensi sosial terhadap kegiatan pengkajian dan penelitian kita. Dimensi sosial sangat perlu diperhatikan, agar dampak atau impact poin dapat terjadi dibelakang hari. “Saya mengharapkan agar kita semua memetik pelajaran dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, ini kesempatan emas bagi kita untuk menimba ilmu yang seringkali dinomor duakan dalam kegiatan kita yang didominasi oleh aspek teknis,” Mudah-mudahan semua itu dapat memberi manfaat bagi pembangunan di masa yang akan datang. A.Syufri.

FALSAFAH, PRINSIP DAN ETIKA PENYULUHAN

Oleh : Ir. Ahmad Syufri M.Si
 
 

 A.      Falsafah Penyuluhan

Falsafah berarti pandangan, yang akan dan harus diterapkan. Falsafah penyuluhan berpijak pada pentingnya pengembangan individu dalam menumbuhkan masyarakat dan bangsa.
Falsafah penyuluhan berakar pada falsafah Negara Pancasila, terutama pada sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika pelaku utama dan pelaku usaha agribisnis  diminta bekerja keras meningkatkan produksinya, seluruh warga Indonesia harus mau mengangkat harkat mereka, demi kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya persatuan bangsa (Margono Slamet, 1989).
Falsafah penyuluhan berlandaskan pada falsafah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, yang membawa konsekwensi pada: (1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat relatif sentralisme menjadi fasilitatif partisipatif, dan (2) pentingnya kemauan penyuluh memahami budaya lokal yang seringkali mewarnai local agricultural praktis.

Landasan falsafah penyuluhan seperti itu mengandung pengertian:
  1. Penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan dari pusat yang kaku dan sentralistis. Pelaku utama dan pelaku usaha agribisnis berhak memperoleh keleluasaan mengembangkan dirinya, dan secara cepat mampu mengantisipasi permasalahan-permasalahan di daerah dan tidak menunggu petunjuk/restu dari pusat. Dalam setiap permasalahan yang dihadapi, mereka bisa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan untuk dapat menyelamatkan keluarganya. Dalam hal seperti itu, penyuluh diberi kewenangan  secepatnya mengambil inisiatif sendiri. Administrasi yang terlalu regulatif, sangat membatasi kemerdekaan mereka mengambil keputusan bagi usahanya.
  2. Penyuluh selain memberikan ilmunya kepada pelaku utama dan pelaku usaha agribisnis, ia harus mau belajar untuk mengembangkan dirinya (belajar dianggap tidak rasional, penyuluh menganggap rasional adalah petunjuk pusat). Padahal praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal, sering sangat rasional, karena telah mengalami proses trial and error dan teruji oleh waktu.

Falsafah penyuluhan adalah:
      
          Bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat membantu dirinya meningkatkan harkatnya sebagai manusia.

Falsafah penyuluhan itu mengandung pengertian:

  1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, bukan bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh harus mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat, bukan sebagai penentu atau pemaksa.
  2. Penyuluhan harus mampu mendorong terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat, agar memiliki kemampuan berswakarsa, swadaya, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya. Penyuluhan harus mengacu pada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

Dari falsafah penyuluhan pertanian (Ensminer, 1962) dapat dirumuskan:

  1. Penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat.
  2. Sasaran penyuluhan adalah segenap warga masyarakat (pria, wanita dan anak-anaknya) untuk menjawab kebutuhan dan keinginannya.
  3. Penyuluhan mengajar masyarakat tentang apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara mencapai keinginan-keinginan itu.
  4. Penyuluhan bertujuan membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri.
  5. Penyuluhan adalah “belajar sambil bekerja” dan “percaya tentang apa yang dilihatnya”.
  6. Penyuluhan adalah pengembangan individu, pimpinan mereka, dan pengembangan dunianya secara keseluruhan.
  7. Penyuluhan adalah bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
  8. Penyuluhan adalah pekerjaan yang diselaraskan dengan budaya masyarakatnya,
  9. Penyuluhan adalah prinsip hidup dengan saling berhubungan, saling menghormati dan saling mempercayai antara satu sama lainnya.
  10. Penyuluhan merupakan kegiatan dua arah.
  11. Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan.

B.      Prinsip Penyuluhan  
          Prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten (Mathews, 1995). Prinsip berlaku umum, dapat diterima secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai pengamatan dalam kondisi yang beragam. Prinsip dapat dijadikan sebagai landasan pokok yang benar bagi pelaksanaan kegiatan.

         Prinsip-prinsip penyuluhan adalah:

  1. Mengerjakan, artinya kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/menerapkan sesuatu. Dengan mengerjakan, mereka akan mengalami proses belajar (menggunakan pikiran, perasaan, dan keterampilannya) yang akan terus diingat untuk jangka waktu yang lebih lama.
  2. Akibat, artinya kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat. Sebab perasaan senang/puas atau tidak senang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar di masa mendatang.
  3. Asosiasi, artinya setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lain. Setiap orang cenderung mengaitkan/menghubungkan nya dengan kegiatan/ peristiwa lain. Misalnya melihat cangkul orang  ingat tentang persiapan lahan yang baik. Melihat tanaman yang kerdil/subur akan mengingatkannya kepada usaha-usaha pemupukan.

        Prinsip penyuluhan (Dahama dan Bhatnagar,1980) mencakup:

  1. Minat dan kebutuhan. Penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Harus dikaji, apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, sesuai dengan sumberdaya, serta minat dan kebutuhan yang perlu mendapat prioritas dipenuhi terlebih dahulu.
  2. Keragaman budaya masyarakat. Penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan /menyentuh organisasi masyarakat bawah, sejak dari keluarga/kekerabatan.
  3. Keragaan budaya. Penyuluhan harus memperhatikan keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal. Perencanaan penyuluhan yang seragam untuk seluruh wilayah akan menemui hambatan pada keragaman budaya.
  4. Perubahan budaya. Setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan. Penyuluh perlu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll.
  5. Kerjasama dan partisipasi. Penyuluhan akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerja sama dalam melaksanakan program penyuluhan yang dirancang.
  6. Demokrasi dalam penerapan ilmu. Penyuluh harus memberi kesempatan pada masyarakat untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan, penggunaan metode penyuluhan, dan pengambilan keputusan yang akan dilakukan masyarakat sasarannya.
  7. Belajar sambil bekerja. Penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman yang ia kerjakan. Penyuluhan menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis dan memberi kesempatan pada sasaran untuk mencoba memperoleh pengalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata.
  8. Penggunaan metode yang sesuai. Penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya) sasarannya. Suatu metode tidak efektif dan efisien diterapkan untuk semua kondisi sasaran.
  9. Kepemimpinan. Penyuluhan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepemimpinan lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatannya.
  10. Spesialis yang terlatih. Penyuluh harus benar-benar orang yang telah memperoleh latihan khusus tentang sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh. Penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding  yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meski masih terkait dengan pertanian).
  11. Segenap keluarga. Penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini terkandung pengertian-pengertian: (1) Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga, (2) Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam pengambilan keputusan, (3) Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama. (4) Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga, (5) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluaga  dan kebutuhan usahatani, (6) Penyuluh harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda, (7) Penyuluh harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluarga, (8) Memperkokoh kesatuan keluarga, baik masalah sosial, ekonomi, maupun budaya, dan (9) Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakatnya.
  12. Kepuasan. Penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan selanjutnya.

C.      Etika Penyuluhan Pertanian 

          Etika, adalah tata pergaulan yang khas atau  ciri-ciri perilaku yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi, mengasosiasikan diri, dan dapat merupakan sumber motivasi untuk berkarya dan berprestasi bagi kelompok tertentu yang memilikinya. Etika bukanlah peraturan, tetapi lebih dekat kepada nilai-nilai moral untuk membangkitkan kesadaran beritikad baik, jika dilupakan atau dilanggar akan berakibat  kepada tercemarnya pribadi yang bersangkutan, kelompoknya, dan anggota kelompoknya (Kartono M, 1987).
        Kegiatan penyuluhan bukan lagi menjadi kegiatan sukarela tetapi telah berkembang menjadi profesi, karena itu setiap penyuluh perlu memegang teguh Etika Penyuluhan.

         Penyuluh harus mampu berperilaku agar masyarakat selalu memberikan dukungan yang tulus ikhlas terhadap kepentingan nasional. Perilaku yang perlu ditunjukkan atau diragakan oleh setiap penyuluh (SalmonP, 1987) adalah:
  • Perilaku sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman kepada Tuhan YME, jujur dan disiplin.
  • Perilaku sebagai anggota masyarakat, yaitu mau menghormati adat/kebiasaan masyarakatnya, menghormati pelaku utama dan pelaku usaha agribisnis dan keluarganya (apapun keadaan dan status sosial-ekonominya) dan menghormati sesama penyuluh.
  • Perilaku yang menunjukkan penampilannya sebagai yang andal, yaitu berkeyakinan kuat atas manfaat tugasnya, kerjanya, memiliki jiwa kerjasama yang tinggi  dan berkemampuan untuk bekerja teratur.
  • Perilaku yang mencerminkan dinamika, yaitu ulet, mental dan semangat kerja yang tinggi, selalu berusaha mencerdaskan diri dan selalu berusaha mengkaitkan kemampuannya.

POKOK-POKOK PENGERTIAN PENYULUHAN PERTANIAN

 
 
Menurut catatan sejarah, di Scotlandia ilmu Penyuluhan  Pertanian sudah dirintis sejak tahun 1723 (True, dalam Swanson dan Clear, 1984). Kehadiran Penyuluhan di Indonesia sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Dr. Reinwardt  pada tahun 1817.
Pengertian Penyuluhan masih  beragam, karena menyangkut banyak tujuan dan kepentingan. Setiap orang dapat memberikan konsepnya sendiri, sesuai latar belakang keilmuan dan kepentingan yang ada padanya.

1.       Penyuluhan Sebagai Proses Penyebarluasan Informasi.
Kata penyuluhan diturunkan dari kata ”extension”  yang dipakai secara luas di banyak kalangan (Amri Jahi, 2003). Extension, dalam bahasa aslinya dapat diartikan sebagai perluasan atau penyebarluasan.

Dengan demikian Penyuluhan dapat diartikan:
Proses penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian”

 Ditinjau dari isinya, informasi tersebut mencakup:
  1. Ilmu dan teknologi yang bermanfaat bagi upaya peningkatan jumlah dan perbaikan mutu produksi, baik selama proses menghasilkan, pengolahan hasil, penyimpanan dan pengepakan hasilnya hingga produk tersebut diterima oleh konsumen.
  2. Analisis ekonomi yang berkaitan dengan upaya memperoleh pendapatan dan atau keuntungan dari kegiatan berusahatani.
  3. Beragam kelembagaan yang diperlukan untuk menunjang upaya peningkatan produksi dan pendapatan/keuntungan usahatani.
  4. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk melakukan ”rekayasa sosial” demi tercapainya tujuan peningkatan produksi dan pendapatan/ keuntungan  usahatani.
 Penyebaran informasi dalam penyuluhan mencakup: penyebaran informasi yang berlangsung antar penentu kebijakan, antar peneliti, antara penyuluh, antar petani, maupun antar pihak-pihak yang berkedudukan setingkat dalam proses pembangunan pertanian.
Proses penyebaran informasi dalam penyuluhan tidak sekadar penyampaian informasi, tetapi terkandung maksud yang lebih jauh yakni untuk dipahami, dikaji, dianalisis, dan diterapkan/ dilaksanakan oleh semua pihak terkait dalam pembangunan pertanian, sampai terwujudnya tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan pertanian  (peningkatan produk, pertambahan pendapatan/keuntungan usahatani, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat tani).

2.       Penyuluhan Pertanian Sebagai Proses Penerangan
”Penyuluhan” berasal dari kata ”suluh” yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan. Dalam hal ini, penyuluhan dapat diartikan
Proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat (petani) tentang segala sesuatu yang belum diketahui (dengan jelas) untuk dilaksanakan/ diterapkan dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan/keuntungan melalui proses pembangunan pertanian.

Penyuluhan yang dilakukan tidaklah sekadar memberikan penerangan. Harus benar-benar dipahami oleh semua pihak, bahwa penyuluhan berbeda dengan sekedar memberitahu atau menerang-kan. Penyuluh harus terus-menerus menerangkannya sebelum segala sesuatu yang disuluhkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan/diterapkan oleh sasarannya. Penyuluh tidak boleh merasa jemu melakukan tugasnya menyuluhkan hal yang sama.

3.       Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Perilaku
Tujuan penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran. Hal ini merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia (Margono Slamet, 2003).

Dengan demikian, penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai:
Proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan masyarakat (petani), agar mereka tahu, mau, dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya, demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat melalui pembangunan pertanian.

”Tahu” berarti benar-benar memahami dengan pikirannya tentang segala ilmu/teknologi dan informasi (yang disampaikan oleh Penyuluh) yang harus ia kerjakan. Pengertian ”tahu” tidak hanya sekadar dapat mengemukakan atau mengucapkan apa yang dia ketahui, tetapi dapat menggunakan pengetahuannya itu dalam praktek usahataninya. Bahkan lebih jauh dari itu, sampai tahap menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi segala sesuatu yang terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Mau”, dengan suka rela dan atas kemauan sendiri mencari, menerima, memahami, menghayati, dan menerapkan/melaksanakan segala infomasi (baru) yang diperlukan untuk peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat.

”Mampu”, yaitu terampil dalam melakukan semua kegiatan dan dapat mengupayakan sendiri sumberdaya (input) yang diperlukan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/ keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya.
Melalui penyuluhan, diciptakan petani tangguh, yang tidak tergantung kepada penyuluhnya. Penyuluh hanya sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses pembangunan pertanian yang direncanakan. Penyuluhan ingin mencapai masyarakat/petani yang memiliki pengetahuan luas di berbagai ilmu dan teknologi yang terkait dengan usahatani, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu informasi baru, serta terampil dan mampu berswadaya mewujudkan keinginan dan harapannya demi tercapainya kesejahteraan keluarga/masyarakat.

4.       Penyuluhan Pertanian Sebagai Proses Pendidikan
 Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti pemaksaan, pemberian insentif, menciptakan lingkungan tertentu, pembujukan dan pendidikan.
Penyuluhan merupakan proses perubahan perilaku yang dilatar belakangi oleh: (a) Pengetahuan/pemahaman tentang segala sesuatu yang dinilai lebih baik atau bermanfaat (bagi dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakat); (b) Dengan kemauan sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun juga (keluarga, kerabat, tetangga, sahabat, ataupun penguasa); (c) Kemampuan melakukan sesuatu dan menyediakan sumberdaya (input) yang diperlukan untuk terjadinya sesuatu perubahan.
Penyuluhan pertanian sering diartikan sebagai: Suatu sistem pendidikan bagi masyarakat (petani) untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, pendapatan/ keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya.
Proses perubahan melalui pendidikan sering berlangsung sangat lambat, melelahkan, dan memerlukan kesabaran, biaya dan waktu yang lebih besar. Perubahan akibat pemaksaan biasanya berlangsung cepat, namun cepat pula kembali pada perilaku semula, jika kemampuan pemaksa menurun. Perubahan yang dibentuk dari proses pendidikan/ penyuluhan akan bersifat kekal seumur hidup. Bahkan seringkali dapat mendorong terjadinya perubahan-perubahan lain atas kemauan sendiri (Herman S, 1987).

Penyuluhan sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri:
a.  Penyuluhan adalah sistem pendidikan non formal (di luar sistem sekolah) yang: (a) terencana/terprogram, (b) dapat dilakukan di mana saja (dalam ruangan dan di luar ruangan) bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (learning by doing), (c) tidak terikat, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya, (d) disesuaikan dengan kebutuhan sasaran, (e) pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik.
b.  Penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, yang: (a) metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding yang sifatnya vertikal atau menggurui/ceramah; (b) keberhasilan tidak ditentukan oleh jumlah materi/informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dengan peserta didik; (c) sasaran utamanya adalah orang dewasa (dewasa dalam arti biologis maupun psikologis).

5.       Penyuluhan Sebagai Proses Rekayasa Sosial
Di dalam praktek, penyuluhan tidak berdiri sendiri sebagai suatu sistem pendidikan. Kegiatan penyuluhan seringkali bahkan selalu harus dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan lain, sebagai salah satu subsistem dari sistem pembangunan pertanian yang direncanakan. Pelaksanaan penyuluhan pertanian memerlukan pengorganisasian lengkap dengan aturan tentang hubungannya dengan subsistem lain.

Penyuluhan semakin berkembang sebagai salah satu upaya untuk mengatur, menggerakkan dan mengarahkan serta menciptakan sistem sosial tertentu yang beranggotakan orang-orang dengan perilaku tertentu sesuai dengan fungsi dan peran yang harus dimainkannya di dalam sistem itu.
Penyuluhan merupakan proses rekayasa sosial, yang mengandung pengertian:
Proses rekayasa sosial untuk terciptanya perubahan perilaku yang dikehendaki anggota-anggotanya, seperti tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.

Penyuluhan (di dalam praktek) sering tidak dapat terlepas dari perlakuan-perlakuan yang bersifat pemaksaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketergantungan dan sering tidak membuat petani sasarannya menjadi lebih sejahtera.
Pengertian rekayasa sering lebih mengacu kepada kehendak perekayasa daripada mengacu kepada kebutuhan sasaran. Masyarakat sasaran sering (terpaksa) dikorbankan demi keberhasilan pembangunan yang bertujuan memperbaiki mutu hidup masyarakatnya. Karena itu, di kalangan sosiolog ada yang berkeberatan digunakannya istilah ”rekayasa sosial” dan lebih suka menggunakan istilah ”transformasi sosial” yang lebih manusiawi.

SEJARAH PENYULUHAN PERTANIAN DI INDONESIA

Penyuluhan pertanian di Indonesia telah dimulai sejak zaman Belanda. Beberapa catatan yang ada dalam sejarah dapat dikemukakan perkembangan penyuluhan di Indonesia.

A. Penyuluhan pada Zaman Belanda (1905-1942)


         Penyuluhan pertanian di Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17-5-1817, ketika Dr. CGL Reinwardt, mendirikan Kebun Raya Bogor dan memperkenalkan 50 jenis tanaman baru, antara lain: kelapa sawit, ketela pohon, dll. Pada tahun 1831, dilaksanakan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) yang memaksa pribumi menanam nila/tarum, kopi, gula dan tembakau. Selanjutnya Direktur ke III Kebun Raya Bogor, Dr. R.H.C.C. Scheffer, tahun 1876, mendirikan Kebun Tanaman Dagang (Cultuurtuin) seluas 75 ha (bagian Kebun Raya Bogor) di Desa Cikeumeuh,  dan menyebarkan ke seluruh pelosok Indonesia tanaman perkebunan dan tanaman makanan, seperti karet, serat (roselia, rami, dll), berbagai jenis padi, kacang tanah, kedelai, jagung, ubi jalar dan ketela pohon.

        Tahun 1877, Scheffer mendirikan Sekolah Pertanian di Kebun Raya. Tahun 1884 Sekolah Pertanian di Kebun Raya ditutup, karena kekurangan dana, kurang perhatian dan kurang dukungan politis. Tahun 1903, Direktur ke V Kebun Raya Bogor, Dr. Melchior Treub, mendirikan Sekolah Pertanian, yang selanjutnya berkembang menjadi Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), lulusannya banyak menjadi penyuluh pertanian, pegawai kehutanan dan sinder perkebunan.

        Satu Januari 1905 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan (Landbouw Nijverheid en Handel) atas usul Melchior Treub. Tugasnya antara lain melakukan penyuluhan yang dilaksanakan melalui Pangreh Praja, dan mendasarkan kegiatannya atas perintah-perintah kepada petani.

         Tahun 1908, diangkat lima orang penasehat pertanian (Landbouw Adviseur) dan beberapa pembantunya (Asisten Landbouw Adviseur) sebagai pegawai Departemen Pertanian, yang diperbantukan kepada Pangreh Praja setempat. Tugasnya memberi nasehat pertanian dan menyelenggarakan pendidikan pertanian kepada petani. Mereka merupakan perintis pendidikan pertanian, yang berkembang menjadi penyuluh pertanian yang tidak berdasarkan atas perintah-perintah.

         Tahun 1910, didirikan Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dienst-LDV)
dalam Departemen Pertanian. Di daerah merupakan bagian dari Pangreh Praja. Petugas-petugas penasehat pertanian (1908) diganti sebutannya menjadi Landbouw Consulen dan Adjunct Landbouw Consulent. Mereka bisa berhubungan langsung dengan petani atas dasar pendidikan dan kesukarelaan.

        Tahun 1921, LDV dilepas dari Pangreh Praja dan dijadikan Dinas Daerah Provinsi, karena hasil nyata yang dicapainya. Sejak itu petugas-petugas Dinas Penyuluhan berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada Departemen Pertanian, disamping tetap bertindak sebagai penasehat Pangreh Praja. LDV menangani penyuluhan tanaman pangan dan perkebunan, dan ikut dalam bidang perkreditan.

        Pada periode 1921-1942, Dinas Penyuluhan terus berkembang sampai datang tentera Jepang. Penyuluh pribuminya berasal dari lulusan Meddlebare Landbouw School/MLS (SPMA) Bogor, Cultuur School/CS (SPMP/Sekolah Pertanian Menengah Pertama) Sukabumi dan Malang.

Hasil penyuluhan yang menonjol selama masa penjajahan Belanda berupa:

  1. Modernisasi usahatani berdasarkan hasil penelitian, terutama pengolahan tanah, pengairan, pemupukan (hijau, kompos dan an-organik), pemakaian varietas/benih unggul,dan pemberantasan hama penyakit. Waktu itu sudah ada Panca Usaha padi, palawija,sayuran dan buah-buahan. Tahun 1940, tiga puluh persen luas sawah sudah ditanami varietas unggul padi Cina, Latisail, Skrivimangkoti, Untung, Baok, Genjah Raci, dari  Algemeen Proefstasion van de landbouw/APL (Lembaga Pusat Penelitian Pertanian) Bogor.
  2. Hama sundep dan beluk dapat dikendalikan di Karawang sampai Pekalongan (berdasarkan hasil penelitian Dr.P.Van der Goot dan kawan-kawannya). Hama tikus yang mengganas, dapat dikekang setelah diketahui siklus hidupnya.
  3. Pupuk hijau mulai meluas digunakan di persawahan dan di perkebunan. Jenis Crotalaria, Centrosema, Lamtoro dan lain-lain mulai banyak diusahakan, sementara kompos mulai dikenal.
  4. Penyempurnaan alat-alat pertanian dengan introduksi dari hasil penelitian, seperti bajak Muara dan Kerorejo, garu Madura, penyiang Muara, penyiang Landak (tunggal dan ganda), parut rotasi untuk bikin tapioka, dll.
  5. Perbaikan pekarangan dengan menanam sayur, buah, bunga dan tanaman obat, menjadi lebih cantik, bersih, berfaedah dan menguntungkan.
  6. Pendirian 200 buah Balai Benih dan Kebun Bibit di seluruh kepulauan untuk menangkar benih/bibit unggul padi, palawija, sayuran, bunga, buah, tanaman keras (karet, cengkeh, randu, kopi, teh, tembakau, kelapa, dll).
  7. Pengembangan pendidikan pertanian melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan pemuda (kelas masyarakat Sekolah Desa 5 tahun) yang dirintis tahun 1910 dikembangkan menjadi 6 tahun, kelas pertanian untuk daerah pedesaan, kelas perdagangan/ perkantoran untuk daerah kota, dan kelas kerajinan/pertukangan untuk daerah yang banyak industrinya. Kelas ini bertambah banyak tahun 1930-an, terutama sesudah ada pendidikan guru kelasmasyarakat di Sekolah Normal (Sekolah Guru Desa).
  8. Tahun 1939 ada 139 kelas pertanian. Pendidikan pertanian yang dilaksanakan dalam bentuk sekolah adalah MLS Bogor, CS di Sukabumi dan Malang (di Malang namanya Landbouw School/LS setara SMP). Pendidikan pertanian non formal dalam bentuk latihan dan kursus untuk calon dan yang sudah jadi pegawai serta untuk masyarakat tani (bapak, ibu dan anak tani), disebut penyuluhan pertanian. Bagi calon dan pegawai rendahan, tersedia sekolah atau kursus mantri, kursus guru pertanian, sekolah usahatani, kursus aplikasi untuk mantri pertanian.
  9. Tahun 1927 dibuka Kursus Tani Desa (KTD) bagi wargatani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. KTD diteruskan dengan bimbingan lanjutan, seperti demonstrasi (percontohan cara dan hasil), perlombaan, ekskursi (wisata karya atau widya dicampur rekreasi). Dibentuk kelompok tani, yang disebut Rukun Tani (Jawa Barat), Kring Tani (Jawa Timur) dan nama setempat lainnya. Diadakan pula kursus bagi wanita tani dan anak tani/pemuda tani, 1 s.d 4 tahun, kurikulum menyeluruh dan waktu pelajarannya 2 hari @ 2 atau 3 jam per minggu.
  10. Dikumpulkan informasi mengenai ekonomi pedesaan, seperti analisa usaha tani (landbouwbedrijfs ontledingen di daerah tertentu), statistik pertanian, analisa dan nasehat niaga hasil bumi, perkreditan dan pembebanan hutang (schuldbevrijding) dari cengkraman pengijon, lintah darat, dll.
  11. Dikumpulkan data kebutuhan air pada setiap jenis tanah dan tanaman, kandungan air sungai, pengujian untung-rugi di daerah pengairan, dan saran pemakaian air pada daerah rawan (kebun tebu, tembakau dan serat), dll.

B. Penyuluhan pada Zaman Jepang (1942–1945)


       Penyuluhan pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak ada. Para petani dipaksa untuk mengusahakan/memproduksi bahan makanan dan bahan strategis lainnya. Son Sidoing (Mantri Pertanian Kecamatan) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian di setiap kecamatan) ditugaskan memperlancar usaha produksi dan mengumpulkan hasilnya bagi keperluan angkatan perang Jepang.

C. Penyuluhan pada Zaman Kemerdekaan (1945–1995)

1. Periode Liberal (1945 – 1959)
            Pada periode 1945–1950, pengembangan pertanian dimulai dengan Rencana (Plan) Kasimo, yaitu rencana produksi pertanian 3 tahun (1948–1950). Tidak terlaksana sepenuhnya karena revolusi fisik. Pada periode 1950–1959, pemerintah memulai usaha pembangunan pertanian lebih sistematis, rencana Kasimo yang belum terlaksana sepenuhnya digabung dengan Rencana Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) tahap ke-1 tahun 1950–1955 dan tahap ke-2 tahun 1955–1960.

Untuk menunjang program tersebut dilaksanakan:
  1. Perbanyakan benih unggul padi dan palawija dengan memperluas dan menambah jumlah Balai Benih dan Kebun Bibit.
  2. Perbaikan dan perluasan pengairan pedesaan.
  3. Peningkatan penggunaan pupuk untuk segala jenis tanaman, terutama pupuk phospat dan nitrogen pada padi.
  4. Peningkatan pemberantasan hama penyakit tanaman serta memperlancar penyaluran pestisida dan peralatannya.
  5. Peningkatan pengendalian bahaya erosi.
  6. Peningkatan pendidikan masyarakat pedesaan dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) di tiap kecamatan.
  7. Intensifikasi pemakaian tanah kering, diawali pembangunan beberapa Kebun Percobaan Perusahaan Tanah Kering (PPTK) di kabupaten.

       Pada periode ini, kabinet sering berganti dan aparatur pertanian masih terkotak-kotak dalam beberapa aliran politik/partai, sehingga pendekatan dan metode penyuluhan mirip sebelum perang. Masalah dan tantangan pertanian makin luas dan kompleks, aparatur dan cara kerjanya belum sistematis dan komprehensif. RKI dua tahap belum sepenuhnya jalan karena perlu menyelesaikan masalah yang besar dan kompleks itu.
        Tahun 1958 intensifikasi padi dimulai pada sentra yang luasnya ± 1.000 ha, petani diberi kredit natura (bibit dan pupuk) serta uang. Program itu disebut Padi Sentra, yang menyebarkan kegiatan intensifikasi padi ke sekelilingnya. Padi Sentra ini, dijadikan bagian dari Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah Kering (BMPT). BMPT gagal dan dihentikan tahun 1963, karena banyak penyelewengan, pengembalian kredit dalam bentuk padi dihitung dengan harga yang rendah dari harga pasar, dan kurangnya keahlian para manager dalam menyuluh, pelayanan dan pemasaran, serta sistem kredit kacau.

2. Periode Terpimpin (1959 - 1963)
      Perasaan tidak puas pada kabinet memuncak, sehingga terbitlah Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Sejak itu mulailah periode terpimpin, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin.
       Penyuluhan mengalami banyak perubahan. Filsafat ”alon-alon asal kelakon” menjadi ”segalanya harus cepat dan tepat”. Kegiatan-kegiatan berdasarkan menggerakkan massa, pendekatan dan metoda penyuluhan harus sesuai. Kampanye besar-besaran menggantikan pendekatan perorangan. Sistem “tetesan minyak (olievlek-sijsteem)” diganti dengan “tumpahan air sehingga semua orang kebagian cipratannya”. Kesemuanya di bawah pimpinan tertentu, sesuai dengan prinsip ekonomi terpimpin.
        RKI diganti dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Tahap I, yang meluas dan menyeluruh. Pelaksanaannya tidak bisa rutin, tapi merupakan gerakan dinamis. Gerakan intensifikasi produksi padi Swa-Sembada Beras (SSB), berlangsung dari tingkat nasional sampai ke desa, dengan pimpinan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) pada setiap tingkat operasi. Tahun 1970 KOGM meluas menjadi Gerakan Swa-Sembada Bahan Makanan (SSBM), tetapi tidak berhasil mencapai tujuannya. Efek negatif penyuluhan sistem ”komando”, adalah para petani menjauhi penyuluh. Kegagalan Sistem Terpimpin, ditambah dengan peristiwa G-30-S, menyebabkan tumbangnya Pemerintahan Soekarno dan timbulnya Orde Baru.

3. Periode Konsolidasi (1963 – 1974)
  1. Di akhir masa terpimpin, gerakan SSBM gagal. Timbul gagasan mengembalikan penyuluhan kepada azas-azas semula, seperti kesukarelaan, otoaktivitas, demokrasi, dll. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan berbagai pihak, seperti penyuluhan dijalankan oleh Jawatan Pertanian Rakyat, Direktorat Pertanian Rakyat (Dirtara), Fakultas Pertanian, organisasi massa tani, Tokoh pertanian, supaya memprogresifkan pendekatan dan membangun organisasi penyuluhan di Indonesia yang berbentuk suatu piramida besar yang dasarnya lebar dan luas, di tingkat desa.
  2. Seiring usaha penyempurnaan penyuluhan, Fakultas Pertanian UI (Institut Pertanian Bogor) bekerjasama dengan Lembaga Koordinasi Pengabdian Masyarakat Departemen PTIP (Pendidikan Tinggi Ilmu Pengetahuan) mengadakan pilot proyek penyuluhan yang efektif, guna meningkatkan produksi padi (1963/1964) dengan penerapan Panca Usaha Lengkap di Kabupaten Karawang. “Action Research” itu dipimpin Dr.Ir. Gunawan Satari dengan asisten Ir. Achmad Affandi, Ir. Djatijanto, dan Ir. Sukmana. Petani dibimbing intensif dan disediakan saprodi secukupnya. Hasilnya, produksi padi meningkat dua kali lipat.
  3. Demonstrasi Massal (DEMAS) dilanjutkan pada MT 1964/1965, dan diperluas lagi MT 1965/1966. Proyek ini diubah menjadi Bimbingan Massal AABM atau BIMAS SSBM dan akhirnya menjadi sistem Bimas, yang mengalami perbaikan menjadi Bimas Berdikari, Bimas Biasa, Bimas Baru, Bimas Gotong Royong, dan Bimas yang disempurnakan. Awal program Bimas, Direktur Jenderal Pertanian dijabat Ir. Sadikin Soemintawikarta dan kepala Dirtara Ir. Soegandhi Soerjo Amidharmo. Bimas meliputi masukan (input) yang harus dilakukan, ditetapkan dengan Inpres No. 4/1973 tentang Unit Desa, terdiri dari: (1) penyediaan kredit oleh BRI, (2) pelayanan penyuluhan oleh PPL dinas pertanian, (3) sarana produksi yang murah dan mudah oleh penyalur, kios dan KUD, serta (4) pengolahan dan pemasaran hasil oleh KUD, Kelompok Tani dan swasta perorangan.
  4. Bimas dimaksudkan untuk mengembangkan program intensifikasi massal (INMAS). Petani yang telah menjalani Bimas atas bantuan kredit dari Pemerintah pada akhirnya akan mampu berdiri sendiri. Mereka diberi kesempatan membeli sarana produksi secara tunai.
  5. Sistem Bimas dan Inmas didasarkan pada usaha pembinaan petani dengan pendekatan Kelompoktani oleh Penyuluh Lapangan yang berijazah SPMA, dibantu oleh penyuluh sukarela berasal dari kalangan petani, yang dikenal dengan sebutan Kontaktani. Kontaktani dibina secara perorangan dalam kegiatan anjangsana, kursus tani, demonstrasi perseorangan (demplot) dan surat menyurat.
  6. Usaha peningkatan produksi yang menyeluruh dan meluas ini memerlukan metode massal, seperti penggunaan radio (siaran pedesaan), pameran, penerbitan, pertunjukan film maupun kesenian tradisionil (wayang, sandiwara, dagelan, dst). Kesemuanya masíh secara adhoc atau insidental, belum sistematis dan berkelanjutan.
  7. Pada periode ini, terjadi perubahan kemasyarakatan dan politik. Pola dan cara penyuluhan dalam menyongsong Era pembangunan, diprogramkan oleh Orde Baru dalam program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I. Bimas diartikan sebagai kegiatan penyuluhan massal, untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara intensifikasi khusus padi/beras, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Bimas dibina bersama oleh intansi dan lembaga pemerintah di dalam dan di luar Departemen Pertanian, menuju swadaya masyarakat tani sendiri dengan jalan Panca Usaha, pembinaan, pengolahan dan pemasaran serta pembangunan masyarakat desa. Bimas merupakan kegiatan penyuluhan pertanian yang bersifat: (1) Ada usaha bersama dari berbagai instansi dan lembaga melakukan penyuluhan/bimbingan menurut rencana yang disusun atas dasar musyawarah dan mufakat; (2) Ada koordinasi dalam membuat rencana (waktu, tempat, cara dan biaya); (3) Ada bimbingan melalui satu aparatur di pedesaan, yang merupakan pelaksanaan utama Bimas; dan (4) Ada sifat massal dari bimbingan yang diberikan. Tujuan Bimas pada hakekatnya sama dengan tujuan penyuluhan saat itu: (1) Menimbulkan perubahan perilaku dan motif tindakan petani ke arah sasaran yang telah ditentukan, (2) Menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku petani dalam mencapai taraf usaha dan kehidupan yang lebih baik, (3) Menimbulkan dan memelihara semangat petani agar selalu giat memperbaiki segala usahanya, dan (4) Membantu petani agar lebih berswadaya dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sasaran Bimas adalah petani/kelompoktani, baik sebagai objek maupun sebagai subjek. Sebagai objek, petani merupakan titik sasaran pelayanan, sedangkan sebagai subjek petani merupakan pemimpin sekaligus pelaksana utama dalam usahataninya. Bimas mengarahkan: (1) berusahatani yang lebih baik (better farming); (2) berusahatani yang lebih menguntungkan (better bussiness); (3) berkehidupan yang lebih layak (better living); dan (4) tata kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera (better community).
  8. Pada Pelita I, penyuluhan harus nyata menunjang pembangunan pertanian berprioritas tinggi mencapai swa-sembada beras. Pola dasar tata penyelenggaraan penyuluhan harus diperkuat, meliputi kelembagaan, aparatur dan fasilitas fisiknya. Pengaturan dan pelayanan penyuluhan di lapangan disempurnakan, Keppres No. 95/1969 membentuk Badan Pengendali Bimas yang diketuai Menteri Pertanian, dan Sekretaris BP Bimas, yang sejajar dengan Dirjen lingkup Departemen Pertanian.
  9. Dalam periode konsolidasi, dasar-dasar metode Kelompoktani dan fondasi peranan kontaktani mulai diletakkan. Sebagai klimaknya, tahun 1971 diselenggarakan PENAS (Pekan Nasional) pertama di Cihea, Jawa Barat atas inisiatif Oyon Tachyan (KTNA Jawa Barat), dan PENAS II tahun 1973 di Jember, Jawa Timur. Memantapkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dengan merekrut 2001 orang PPL dan 113 orang PPS pada tahun 1971.

4. Periode Pemantapan I (1974-1983)
  1. aKeppres No.44 dan 45/1974 membentuk Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian (Badan Diklatluh), yang berwenang mengatur pendidikan, latihan dan penyuluhan di tingkat nasional. Di daerah dilakukan oleh berbagai dinas yang ada sesuai dengan UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
  2. SK Mentan No. 664/1975 membentuk Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Peraturan ini merupakan landasan menggalang kerjasama yang erat dalam penyuluhan, yang akan meningkat kepada terpadunya penyuluhan.
  3. Mulai tahun 1976 diterapkan sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU). Penyuluh sejak 1979 ditata menurut sistem Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) di tingkat Wilayah Unit Desa (wilud 600-1.000 ha sawah atau setaranya), dan dibina oleh Penyuluh Pertanian Madya (PPM, yang berubah menjadi Penyuluh Pertanian Urusan Program/PPUP). PPM/PPUP berkedudukan di BPP (pengembangan dari Balai Pendidikan Masyarakat Desa/BPMD tahun 1948). BPP menjadi basis kegiatan penyuluhan. PPL mendapat pembinaan teknis dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) kabupaten, dan provinsi. Kegiatan latihan bagi PPL oleh PPM/PPUP dan PPS di BPP satu kali dalam 2 minggu untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknik pertanian sesuai dengan kalender produksi pertanian setempat. Latihan dasar bagi PPL, PPM/PPUP dan PPS, berbagai subjek dan komoditi, diatur oleh Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP) dengan bantuan dinas dan lembaga pendidikan tinggi serta peneliti setempat. Bahan-bahan penyuluhan berupa terbitan, film dan kaset untuk siaran pedesaan lewat radio, merupakan perlengkapan para penyuluh, disediakan oleh Balai Informasi Pertanian (BIP), di wilayah bersangkutan.
  4. PPL dan PPM/PPUP pada umumnya berasal dari Sekolah Pertanian Menengah Atas Negeri, daerah dan swasta. Unit-unit pelaksana teknis berupa SPMA, BLPP dan BIP, dikelola Badan Diklatluh Pertanian, dibawah pengawasan Kepala Kanwil Deptan yang bersangkutan. Pelayanan kebijaksanaan, diberikan kepada swasta dan masyarakat tani sendiri. Penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti pupuk, pestisida, alat-alat pertanian, benih dan bibit, diusahakan oleh perusahaan swasta, BUMN, KUD, Kelompok tani sendiri.
  5. Sejalan dengan pelaksanaan Bimas Nasional Disempurnakan (BND) tahun 1970, aparatur dan metode penyuluhan diperkuat sesuai kebutuhan Gerakan Massal Bimas. Dicetuskan empat kategori demonstrasi: (1) demplot dilakukan perorangan; (2) demfarm dilakukan kelompok primer; (3) dem area dilakukan gabungan kelompok; dan (4) dem-unit dilakukan KUD.
  6. Pada sistem LAKU, pengertian kelompok dibakukan sebagai Kelompoktani Hamparan, yang mempunyai kawasan wilayah kelompok (Wilkel) yang merupakan satu unit kunjungan PPL.
  7. Uji coba dem-area di kabupaten Karawang MT 1975/76 dan MT 76 menunjukkan hasil yang menggembirakan (50-75% penerapan teknologi terujud). Atas hasil tersebut tahun 1979 dimulailah INSUS (Intensifikasi Khusus) dan dilanjutkan dengan OPSUS (Operasi Khusus) pada daerah terkebelakang intensifikasinya, OPSUS Tekad Makmur (1980) di Provinsi NTB dan Opsus Lapo Ase di Sulawesi Selatan (1981) dan seterusnya di lain daerah.
  8. Tahun 1980, formasi penyuluhan diperbesar menjadi 20.626 orang (PPL/PPUP 19513 orang, PPS 1.113 orang).
  9. Sistem LAKU tahun 1976 dilaksanakan di 9 provinsi, tahun 1977 diperluas ke 14 provinsi dan tahun 1980 ke seluruh Indonesia untuk seluruh subsektor pertanian.
  10. Penas III dilaksanakan di Bali tahun 1980 dan Penas IV di Kalimantan Selatan tahun 1981. Pada rembug KTNA di Bali disepakati peningkatan metode penyuluhan berupa Mimbar Sarasehan, Temu Wicara dan Temu Karya.
  11. Tahun 1980, Badan Diklatluh Pertanian meningkatkan kesejahteraan penduduk/Kelompok Petani Nelayan Kecil (KPK) yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pendekatan partisipatif melalui Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K) di 8 provinsi.
  12. Kelompoktani peserta Insus dirangsang meningkatkan intensifikasi padi dengan perlombaan. Kelompoktani pemenang diundang ke Istana Negara Jakarta, menerima hadiah dari Presiden RI.

5. Periode Pemantapan II (1983-1993)
  1. Keppres No.24/1983, membentuk Direktorat Penyuluhan pada semua Direktorat Jenderal lingkup pertanian dan Pusat Penyuluhan pada Badan Diklatluh. Di Dinas tingkat I dan II/cabang Dinas pertanian, dibentuk subdinas dan seksi penyuluhan.
  2. Pada 1993, Penyuluh ditingkatkan jumlahnya menjadi 39.108 orang (PPL/PPUP 36.830 orang dan PPS 2.278 orang).
  3. Pemantapan penyuluhan dengan adanya kesatuan aparat penyuluhan dan kesatuan pengertian penyuluhan.
  4. Pada MT 1987 dikembangkan pola Supra Insus. Keberhasilan Supra Insus terletak pada kerjasama antar Kelompoktani dalam intensifikasi di satu WKPP, menerapkan pola tanam yang menjamin terwujudnya keserempakan panen dan keragaan varietas dalam hamparan areal usahatani se WKPP atau sekurang-kurangnya sehamparan irigasi tersier. Kerjasama antara Kelompoktani di bawah pimpinan Kontaktani se WKPP merupakan unit terkecil dari Supra Insus yang disebut Unit Hamparan Supra Insus (UHSI).
  5. Sesuai perkembangan zaman, metode massal relatif berkurang dan lebih banyak penerapan metode kelompok dan perorangan. Berkembangnya tingkat pengetahuan petani-nelayan, maka pendekatan partisipatif lebih menarik. Mimbar Sarasehan, Temu Usaha, Temu Karya, Temu Wicara dan Penas, menerapkan berbagai metode penyuluhan. Penas V diselenggarakan di desa Purbolinggo Lampung Tengah tahun 1983, Penas VI di desa Pematang Krasan Simalungun Sumatera Utara, tahun 1986 dihadiri 2.500 orang peserta dari 27 provinsi dengan 20 jenis kegiatan.
  6. Bimas yang didukung penyuluhan membawa Indonesia sukses mencapai swasembada beras tahun 1984 yang diakui FAO. Pada Hari Ulang Tahun FAO ke-40 tanggal 14 Nopember 1985, Presiden Suharto diundang oleh Direktur Jenderal FAO dan menyampaikan pidatonya di depan Sidang FAO di Roma. Acara tersebut dihadiri oleh 32 orang KTNA Indonesia. Pada kesempatan itu, masyarakat pertanian Indonesia secara simbolis menyerahkan sumbangan 100.150 ton gabah kering giling (senilai Rp.15,6 milyar) kepada penduduk Afrika yang menderita kelaparan melalui Dirjen FAO.Atas jasa mencapai swasembada beras, Direktur Jendral FAO memberi penghargaan medali emas kepada Presiden Suharto, yang bertuliskan PRESIDEN SUHARTO – INDONESIA dan FROM RICE IMPORTED TO SELF SUFFICIENCY – FAO-ROME.
  7. Tahun 1986 ditetapkan jabatan fungsional penyuluh. Sejak itu dimulailah penerapan sistem angka kredit untuk peningkatan jenjang karir penyuluh. Kualifikasi tenaga penyuluh ditingkatkan, Penyuluh yang SLTA (SPMA, SNAKMA, SUPM/SPP) ditingkatkan pendidikannya melalui Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) mulai tahun 1987 dan Pendidikan Tinggi Pertanian Lapangan/PTPL (pendidikan jarak jauh, kerjasama Departemen Pertanian dengan Universitas Terbuka/UT) mulai tahun 1991. Penyuluh S1, secara bertahap dan terbatas ditingkatkan menjadi S2 atau S3, baik di dalam maupun luar negeri.
  8. Kemampuan dan peran Kelompoktani dan kontaktani makin meningkat, bermutu dan mandiri. Peran tersebut terlihat dengan semakin banyaknya Kontaktani menjadi induk semang dalam pemagangan. Bahkan mereka sudah mampu membentuk Pusat Pelatihan Pertanian & Pedesaan Swadaya (P4S). Petani Indonesia menerima petani magang dari Afrika/GNB.
  9. Pengurus KUD meningkat jumlahnya yang berasal dari Kontaktani. Pada waktu itu, kontaktani telah melakukan Studi Banding ke luar negeri, antara lain ke Thailand, terutama bidang hortikultura.
  10. Sejak tahun 1990, jumlah dan mutu kegiatan di Penas makin ditingkatkan. Penas diselenggarakan 4 kali dalam periode Pemantapan II. Penas V di Lampung tahun 1983 Penas VI di Sumatera Utara tahun 1986, Penas VII di Sulawesi Selatan tahun 1988 dan Penas VIII di Magelang tahun 1991.
  11. Diklat bagi petani-nelayan disempurnakan dengan metode Andragogi, Sekolah Lapang Usahatani Berorientasi Agribisnis (SL-UBA).
  12. Pelatihan teknis bagi penyuluh digunakan pola SL terpadu, terdiri dari kegiatan diklat PL-1 (Pemandu Lapang-1), diklat PL-II dan diklat P-N (Petani-Nelayan). Materi pokok (substansi) diklat diambil dari permasalahan teknis ekonomi yang dihadapi petani-nelayan. Diklat SL dilaksanakan untuk mendukung program nasional pembangunan pertanian yang menerapkan teknologi khusus (PHT, agribisnis) dan harus disebarluaskan karena mempunyai dampak luas terhadap keberhasilan program. Dalam menunjang program pengembangan agribisnis, teknologi yang disebar luaskan melalui SL adalah teknologi ekonomi (menerapkan kaidah-kaidah bisnis dalam berusahatani). Teknologi ini harus dikuasai melalui PL-I, PL-II dan P-N
  13. Untuk menyiapkan generasi muda pertanian, dijalin hubungan antara taruna tani dan siswa SPP melalui kegiatan Temu Siswa dan Taruna Tani Nasional (TESISTANAS) dan dibentuknya Kelompok Siswa dan Taruna Tani (KOSISTA).
  14. Upaya percepatan alih teknologi dilakukan melalui kerjasama antara Badan Diklat Pertanian dan Badan Litbang Pertanian dalam bentuk Temu Aplikasi Teknologi dan Gelar Teknologi.
  15. Melalui SK Mentan Nomor: 789/Kpts/OT.210/1294, fungsi BIP ditingkatkan dan diubah menjadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Tugas BPTP adalah melaksanakan kegiatan penelitian komoditas, pengujian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik lokasi, menyampaikan paket teknologi hasil pengkajian dan perakitan untuk bahan penyusunan materi penyuluhan pertanian, pelayanan teknik kegiatan penelitian, pengkajian, dan perakitan teknologi pertanian, Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga Balai.
  16. Untuk memperkuat otonomi daerah tingkat II, sejak tahun 1993 penyuluh non sarjana dan BPP diserahkan/ diperbantukan kepada daerah tingkat II, beserta anggarannya. Pengelolaan administrasi dan operasionalnya dikelola dinas subsektor (Tanaman Pangan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan). Penyuluh berpendidikan sarjana tetap sebagai pegawai pusat yang dipekerjakan di wilayah, administrasinya dikelola oleh Kanwil Deptan.
  17. Tahun 1989, sistem LAKU dievaluasi oleh Pusat Pengembangan Agribisnis/ PPA dan proyek NAEP III. Hasil evaluasi menunjukkan, LAKU tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kebudayaan. Sebanyak 300 kelompok etnis dengan 200 dialek dan tinggal di 13.667 pulau, menuntut ketangguhan cara kerja penyuluhan. Disarankan modifikasi LAKU, terutama pada pengembangan sumberdaya manusia pelaku utama beserta keluarganya. Titik berat diubah dari komoditi ke komunitas (masyarakat) sebagai pemeran utama pembangunan pertanian. Poktan dibentuk berdasarkan keserasian anggota dan jangkauan nyata untuk menghadiri pertemuan kelompok. Penerapan sensus masalah pada pertemuan Poktan memungkinkan ditetapkan daftar masalah dan peringkatnya oleh pelaku utama sendiri.
  18. Modifikasi sistem LAKU dengan metode sensus masalah, dapat membawa penyuluhan pertanian kepada pendekatan yang menyeluruh (holistik). Kerjasama itu diperlukan untuk melayani semua aspek pembangunan pedesaan yang efektif, pertanian, industri kecil, kesehatan, pendidikan, perkoperasian dan seterusnya.
  19. Keppres no.4/1990, Badan Diklatluh Pertanian diubah menjadi Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Pertanian, Pusat Penyuluhan Pertanian diubah menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan Penyuluhan Pertanian (Pusdiklatluhtan).
  20. SK Mentan No. 58/Kpts/LP.120/2/91, mengubah koordinasi penyuluhan. Di tingkat provinsi dipegang oleh Kepala Kanwil Deptan, di Kabupaten/Kotamadya oleh Kepala Dinas Lingkup Pertanian/Ketua Pelaksana Harian Bimas. Koordinasi di tingkat BPP dan desa tidak diatur. Kedudukan dan tugas BPP tidak lagi sebagai unit pelaksana penyuluhan, melainkan hanya sebagai instalasi penyuluhan.
  21. Keppres No. 83/1993, menghapus Direktorat Penyuluhan pada Direktorat Jenderal Tanaman Pangan & Holtikultura, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan.
  22. SK Mentan No. 96/Kpts/OT.210/2/1994, membentuk Pusat Penyuluhan Pertanian (Pusluhtan), yang bertanggung jawab pada Menteri Pertanian. Secara administratif dibina oleh Sekjen dan secara teknis dibina oleh Dirjen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

6. Periode Agribisnis-Agroindustri (1993-1997)
Kebijakan Menteri Pertanian pada awal kebangkitan nasional II (PJP II), memantapkan penyelenggaraan penyuluhan di Indonesia. Dalam PELITA VI, penyelenggaraan penyuluhan menghadapi berbagai tantangan berupa lingkungan sosial ekonomi nasional maupun global yang dinamis, al:
  1. Orientasi pembangunan pertanian ke arah penerapan pendekatan agribisnis.
  2. Peningkatan peranan dan peran-serta masyarakat, dalam hal ini petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya.
  3. Pelaksanaan desentralisasi mengarah kepada pelaksanaan otonomi daerah tingkat II yang lebih luas dan lebih bertanggung jawab. Perubahan kebijakan dari petani-nelayan yang hanya terampil berproduksi menjadi kebijakan yang dapat menciptakan iklim motivasi petani-nelayan untuk lebih rasional dan efisien dalam mengembangkan usaha berdasarkan kemampuan wilayah, informasi dan mengenali potensi pasar.

Pada PELITA VI, penyelenggaraan penyuluhan diarahkan :
  1. Memberi dorongan bagi berkembangnya kelembagaan tani-nelayan ke arah terciptanya sistem pengguna aktif dari informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang muncul sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis. Pengambilan keputusan oleh petani-nelayan secara mandiri melalui perencanaan wilayah yang partisipatif perlu dikembangkan secara bertahap. Para petani dan nelayan diarahkan untuk mampu mengambil manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan BPP melalui kunjungan para petani dan nelayan secara berkala ke BPP.
  2. Memperkuat BPP dengan personil, sarana, prasarana dan pembiayaan yang memadai dalam menghadapi arah perkembangan perilaku petani/nelayan sebagai sistem pengguna aktif berbagai informasi dan kesempatan berusaha. BPP diarahkan menjadi pusat pengelolaan penyuluhan di pedesaan yang mampu melayani seluruh kepentingan pendidikan non formal bagi petani-nelayan beserta keluarganya & masyarakat pedesaan pada umumnya.
  3. Membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluh yang mampu mendukung pengembangan kelembagaan petani-nelayan serta mampu menciptakan iklim kepemimpinan demokratis dalam mengembangkan agribisnis. Perangkat terdepannya adalah BPP, yang berfungsi menyalurkan berbagai informasi teknologi produksi, dan membuka berbagai kesempatan berusaha di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Arah itu perlu ditempuh, mengingat perilaku usahawan sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan pengembangan agri bisnis. Keberhasilan mengkaitkan sistem produksi pertanian pada mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya-upaya memberikan motivasi kepada poktan untuk berkembang menjadi kelompok-kelompok usaha atau asosiasi sesuatu komoditas dan kombinasi komoditas pertanian. Perkembangan ini hanya dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringan kelembagaan penyuluhan yang berkarakter profesional.
  4. Mengorientasikan para petugas lingkup pertanian (penyuluh dan aparat pembinanya) agar memiliki satu kesatuan tindak dalam penyelenggaraan penyuluhan. Para penyuluh dikembangkan kemampuannya sesuai dengan perubahan orientasi penyuluhan terutama menyangkut kemampuan bekerjasama dengan petani dan peneliti dalam merancang pengembangan wilayah kerja. Penyuluh, petani dan peneliti hendaknya menjalin kerjasama dalam mengidentifikasi kemampuan wilayah serta kemampuan sosial ekonomi petani dan nelayan sehingga dapat diciptakan suasana pengambilan keputusan pengembangan usaha petani-nelayan secara partisipatif atas dasar efisiensi usaha dan informasi pasar. Penyuluh yang sehari-harinya berintegrasi dengan para petani dan nelayan hendaknya berpangkal kerja di BPP
  5. Penyelenggaraan penyuluhan diletakkan pada Daerah Tingkat II dengan materi yang sesuai dengan mandat, misi, tujuan penyuluhan, dan kondisi/potensi riil daerah serta berkaitan dengan berbagai program prioritas pembangunan pertanian.
  6. Penyuluhan di tingkat provinsi maupun nasional, diarahkan untuk mampu mendukung penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di kab./kota dan BPP. Dukungan ini terutama dalam bentuk penciptaan iklim berupa kebijaksanaan, pedoman yang didasarkan atas monitoring, evaluasi, studi dan menghubungkan wilayah otonomi Dati II dengan kesempatan usaha yang tersedia di tingkat provinsi, nasional dan internasional.
  7. Pendekatan dan metode penyuluhan disesuaikan dengan perkembangan atau tingkat kemajuan sosial ekonomi wilayah dan tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan. Pendekatan ”partisipatory and cost sharing” dalam penyelenggaraan penyuluhan cocok diterapkan guna mengembangkan peran-serta dan kemandirian petani/nelayan dalam pembangunan pertanian. Mengingat keragaman kondisi sosial ekonomi petani nelayan, pendekatan lainnya dapat digunakan dalam penyelenggaraan penyuluhan.
  8. Mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan, sebagai suatu jaringan kelembagaan. Fungsinya sebagai penyalur informasi (pasar, harga, kualitas, standar, teknologi, ilmu pengetahuan, kredit, perbankan, kesempatan usaha) dan mendukung interaksi petani-nelayan dengan penyuluh dan peneliti. Mekanisme dan tata hubungan kerja petugas pemerintah yang terkait dengan penyuluh juga melibatkan sektor ekonomi swasta, BUMN dan lembaga sosial/ekonomi pedesaan lainnya. Pengembangan jaringan kelembagaan penyuluhan yang utuh bertujuan untuk melayani kepentingan petani, pemerintah dan sektor ekonomi swasta/BUMN, maupun nasional.
  9. Untuk memberikan dukungan nyata pada penyelenggaraan penyuluhan, tahun 1994 dibentuk lembaga pengkajian teknologi pertanian di tiap provinsi. Pada April 1995, unit kerja itu mulai dioperasikan dengan status organisasi BPTP, LPTP dan IPPTP.

PARADIGMA BARU PENYULUHAN PERTANIAN

Oleh Ir.Ahmad Syufri, M.Si




Sasaran Penyuluhan Pertanian


         Perubahan konteks dan konten pembangunan pertanian akan mengakibatkan perubahan sasaran penyuluhan pertanian.

        Dulu sasaran penyuluhan pertanian adalah hanya petani, sekarang sasaran penyuluhan pertanian adalah pelaku agribisnis yang berada di 5 sub sistem agribisnis, yaitu :  pengusaha hulu, pengusaha tani,  pengusaha hilir,  pedagang, dan  penyedia jasa penunjang.

        Pengusaha hulu misalnya produsen pupuk, produsen bibit/benih, produsen pestisida, produsen alat dan mesin pertanian. Pengusaha tani terdiri dari petani tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternak.
        Pengusaha hilir adalah pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan hasil (agroindustri), misalnya pembuat bahan pengepakan (keranjang, kotak kayu, kotak kardus), pembuat lahan labeling , pengusaha processing dan pengolahan hasil, pengusaha yang melakukan sortasi dan grading hasil.
        Pedagang terdiri dari : pedagang hulu dan pedagang hilir. Pedagang hulu misalnya : pedagang pupuk, pedagang bibit/benih, pedagang pestisida, pedagang alat dan mesin pertanian, kios dan toko sarana produksi. Pedagang hilir terdiri dari pedagang produk primer dan produk olahan mulai dari pedagang pengumpul, pedagang perantara, grosir, pengecer, yang mereka lakukan di lokasi agribisnis, teminal agribisnis, lapak-lapak pinggir jalan, warung, toko, dan pasar.
         Penyedia jasa penunjang misalnya usaha perkreditan, perbankan, transportasi, dan pergudangan.

           Dulu petani adalah objek pembangunan pertanian, atau beneficieries yaitu pihak yang diharapkan dapat menikmati hasil pembangunan pertanian. Sedangkan aparat termasuk penyuluh pertanian adalah pelaksana atau subjek pembangunan pertanian. Sekarang sebaliknya yaitu petani, pengusaha, dan pedagang pertanian diharapkan dapat menjadi aktor (subjek) dalam pembangunan agribisnis, sedangkan aparat termasuk penyuluh pertanian adalah pelayan (fasilitator) dalam pembangunan agribisnis.

           Dulu penyuluh pertanian menghadapi petani produsen tetapi sekarang menghadapi petani pengusaha yang memiliki budaya yang berlainan dengan petani produsen. Sebagai konsekwensi dari pengertian “agribisnis sebagai cara pandang baru pertanian sebagai suatu bisnis” akan menuntut perubahan budaya petani produsen menjadi petani pengusaha yang meliputi: (1) budaya disiplin; (2) budaya teliti (precision); (3) budaya menghargai waktu; (4) budaya untuk melihat kedepan tidak fatalistic; (5) budaya untuk selalu melihat kemungkinan;  (6) budaya efisien; dan (7) budaya tepat janji.

Tujuan Penyuluhan Pertanian
          Perubahan konteks dan konten pembangunan pertanian akan mengakibatkan perubahan tujuan penyuluhan pertanian. Dulu penyuluhan pertanian bertujuan untuk mengubah perilaku petani agar dapat bertani lebih baik (better farming), berusaha tani lebih menguntungkan (better business), hidup lebih baik (better community). Sekarang tujuan penyuluhan pertanian adalah menghasilkan manusia pembelajar, manusia penemu ilmu dan teknologi, manusia pengusaha agribisnis yang unggul, manusia pemimpin di masyarakatnya, manusia “guru” dari petani lain, yang bersifat mandiri dan interdependensi.

          Sifat mandiri meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Kemandirian material artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumber daya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar.
  2. Kemandirian intelektual artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa takut atau tekanan dari pihak lain.
  3. Kemandirian pembinaan artinya mereka akan memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tanpa harus bergantung atau menunggu sampai adanya “pembina” atau “agen pembaharu” dari luar sebagai guru mereka. Proses pembelajaran yang dilakukan adalah “discovery learning”
  4. Sebagai manusia yang interdependensi artinya dalam melaksanakan kegiatannya selalu terdapat saling ketergantungan dengan manusia lain di dalam masyarakat sebagai suatu sistem social. Sifat interdependensi akan tercapai setelah menjadi manusia mandiri yang siap hidup di dalam suatu sistem social (masyarakat tani).

Citra Penyuluhan Pertanian

          Sebagai konsekuensi dari perubahan konteks dan konten pembangunan pertanian, maka penyuluhan dalam pengembangan sistem  dan usaha agribisnis harus mampu mengubah citra “petani, pengusaha, dan pedagang pertanian sebagai alat produksi” menjadi “petani, pengusaha dan pedagang pertanian sebagai manusia”, atau “petani, pengusaha, dan pedagang pertanian sebagai objek” menjadi “petani, pengusaha, dan pedagang pertanian sebagai subjek” dalam pembangunan pertanian. Dengan demikian citra penyuluhan sebagai proses transfer teknologi harus diubah menjadi proses pemberdayaan dan pembelajaran.

         Penyuluhan pertanian bukanlah proses transfer teknologi, tetapi proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.

         Penyuluhan bukanlah transfer teknologi yang dilakukan dengan mengajar petani, pengusaha, dan pedagang pertanian atau menjembatani gap antara petani, pengusaha, dan pedagang pertanian yang mengalami lack of technology dengan penelitian yang notabene dianggap sebagai sumber teknologi baru (inovasi), dan menempatkan petani, pengusaha, dan pedagang pertanian sebagai “murid” dan penyuluh sebagai “guru” di mana kedudukan petani, pengusaha, dan pedagang pertanian sangat dependen terhadap penyuluh.

         Penyuluhan adalah proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara melibatkan petani, pengusaha, dan pedagang pertanian untuk melakukan discovery learning agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara mandiri dan interdependensi. Proses penemuan ilmu dan teknologi adalah proses pembelajaran. Sedangkan proses untuk dapat keluar dari masalah secara mandiri dan interdependensi adalah proses pemberdayaan.

Belajar Dalam Situasi Kehidupan Nyata

         Usaha agribisnis dan alam disekitarnya adalah “buku” yang harus mereka baca dan “perpustakaan” yang kaya.
Dalam kegiatan penyuluhan, petani, pengusaha, dan pedagang pertanian diharapkan mampu mengorganisir dirinya untuk belajar dalam situasi kehidupan yang nyata. Penyuluh hanya memberikan lingkungan agar terjadinya suasana belajar. Seperti dikatakan oleh Einstein : “Saya tidak pernah mengajar murid saya. Saya hanya memberikan lingkungan agar murid saya dapat belajar”.

         Melalui proses pembelajaran “dialogis” seperti yang diajarkan oleh Socrates 3000 tahun yang lalu maka dikembangkanlah “discovery learning” dalam situasi kehidupan yang nyata. Petani, pengusaha, dan pedagang pertanian mengalami sendiri melalui interaksi dengan usaha agribisnis dan alam sekitarnya. Petani, pengusaha, dan pedagang pertanian mengemukakan hasil pengalamannya melalui interaksi dengan rekan-rekannya. Petani, pengusaha dan pedagang pertanian berfikir untuk mengolah hasil pengalaman bersama dan menarik kesimpulan bersama untuk menemukan science yang baru, dan akhirnya mereka menerapkannya dalam lingkungan usaha agribisnisnya masing-masing sesuai dengan problemnya masing-masing, disamping mengajarkannya kepada petani, pengusaha, dan pedagang pertanian lainnya atau mempertukarkan pengalamannya melalui berbagai forum yang mereka ciptakan (create) sendiri.
Dengan demikian akan terjadi Agriculture Knowledge Information System (AKIS) di dalam kehidupan masyarakat mereka yaitu masyarakat petani, pengusaha, dan pedagang pertanian pembelajar.